Jepara Tempo Dulu “WANITA yang gagah berani (De Krange Dame). Raha Jepara, seorang perempuan kaya dan memiliki pengaruh besar (Rainha de Jepara senhora Poderosa e rice)”.
Demikianlah De Ceuto, seorang penulis kebangsaan Portugis menyebut Ratu Kalinyamat (1549-1579) dalam bukunya “Da Asia” sebagaimana terbeber dalam situs resmi Pemerintah Kabupaten Jepara.
Sebutan Retna Kencana, nama Ratu Kalinyamat yang juga masyhur di masyarakat Portugis tersebut seakan mewakili nama besar Jepara kala itu, konon pada abad XVI bernama Ujung Muara, kemudian berubah menjadi Jungmara dan akhirnya menjadi Japara atau Jepara.
70 tahun sebelumnya, tepatnya pada 1470, nama besar Jepara sudah mafhum. Yaitu kala pemerintahan Jepara kali pertama di bawah kekuasaan Arya Timur, seorang pedagang asal Kalimantan Barat yang pindah ke Maluku dan akhirnya menetap di Jepara.
Bandar besar di Jepara yang strategis untuk lalu lintas perdagangan Nusantara menjadi pertanda di masa ini. Setelah kemudian pada 1507-1512, pemerintahannya estafet kepada Pati Unus. Paling tidak, itu yang dikemukakan Tome Pires dalam “Suma Oriental”.
Pada rentang 34 tahun berikutnya, terjadi kemelut di Kesultanan Demak, dengan tewasnya Sultan Trenggana dalam sebuah ekspedisi militer di Panarukan (1546).
Pascaperistiwa itu, terjadi perebutan kekuasaan di Demak. Sunan Prawoto sebagai penerus Sultan Trenggana dibunuh Arya Penangsang yang ingin merebut tahta Demak. Salah seorang menantu Sultan Trenggana, yaitu Sultan Hadlirin (suami Ratu Kalinyamat) juga tewas olehnya.
Inilah yang membuat Ratu Kalinyamat bertapa di Danareja, daerah Keling Jepara. Alhasil, pada 1549 Arya Penangsang tewas oleh Danang Sutawijaya -putra angkat Pangeran Hadiwijaya (menantu Sultan Trenggana lainnya)- yang kemudian menjadi cikal bakal Kerajaan Mataram Islam.
Sementara tahun itu, Ratu Kalinyamat dinobatkan sebagai penguasa Jepara dengan candra sengkala “Trus Karya Tataning Bumi”, bertepatan 10 April 1549 yang sampai sekarang tanggal tersebut diperingati sebagai Hari Jadi Jepara.
Hari Jadi Jepara diperingati kali pertama 10 April 1989. Upacara tahunan itu dilakukan setelah Pemda Jepara memiliki Peraturan Daerah (Perda) Nomor 9 Tahun 1988, tentang Penetapan Hari Jadi Jepara.
“Pembela masyarakat kecil, setia, berani, dan adil. Itu yang bisa ditangkap dari figur Ratu Kalinyamat,” kata Hendro Martojo, Bupati Ke-47 Jepara yang memulai tugasnya bersama Wakil Bupati H Ali Irfan Mukhtar, sejak 6 Februari 2002.
Bagi siapa pun, khususnya aparat di Jepara, momen Hari Jadi Ke-456 ini bisa diilhami lebih dari sekadar seremoni sesaat. Lanskap perjuangan masa lalu yang terwujud dalam nilai-nilai patut dikedepankan di masa sekarang.
Hal ini, lanjut dia, untuk mencapai sebuah tatanan hubungan masyarakat dengan pemerintah menjadi harmonis dan saling menguntungkan. Sesuai dengan visi Kabupaten Jepara, yaitu terwujudnya masyarakat maju, sejahtera, damai, demokratis, dan mandiri, dengan pelaku-pelaku sejarah baru yang berkualitas, religius, dan berakhlak mulia.
Hal paling aktual untuk memaknai “Trus Karya Tataning Bumi” di masa sekarang adalah dengan terus melakukan kerja keras, tanpa kenal lelah dengan semangat positif dan budaya kerja yang tepat guna.
Keberanian, sebagai satu sikap yang ada pada diri Ratu Kalinyamat, tak hanya bisa diartikan “kaku” sebagai keberanian dalam peperangan mengangkat senjata untuk mengusir penjajah semata.
Jiwa entrepreneurship yang sudah terpatri lama bagi masyarakat Jepara, juga lekat dengan keberanian. “Tukang tatah yang sedang berkreasi membuat motif ukir akan lebih hidup dan inovatif dengan keputusan-keputusan berani saat berkarya,” kata Hendro memisalkan keberanian para perajin kayu, pelaku ekonomi yang menjadi salah satu ikon sebagian besar masyarakat Jepara.
Wong Cilik
Keberanian itu juga layak ada pada segmen masyarakat nelayan dan petani, dua basis masyarakat lain di Jepara. Terlebih aparat pemerintah yang saat ini masih dalam proses menuju karakter abdi negara yang bisa mengayomi, melayani, dan membela kebutuhan masyarakat. Berani mengambil kebijakan strategis yang berpihak ke wong cilik merupakan pekerjaan mulia.
“Bagaimanapun masih ada keluhan-keluhan masyarakat yang tetap harus diperhatikan pemerintah. Mendengarkan dan melayani masyarakat juga bagian dari pengejawantahan kebijakan. Untuk mengalah dan rendah hati dalam memberikan pelayanan juga bagian dari keberanian,” tambahnya.
Ibarat gadis belia yang sedang berulang tahun, Hari Jadi Jepara patut menjadi ajang introspeksi, apa yang telah diperbuat di masa lampau untuk menentukan langkah ke depan, menuju jati diri yang lebih dewasa dan matang.
Bukan tidak mungkin nilai-nilai “warisan” leluhur sirna, jika tidak dimulai dari semangat-semangat kecil yang kadang terlupakan.
Demikianlah De Ceuto, seorang penulis kebangsaan Portugis menyebut Ratu Kalinyamat (1549-1579) dalam bukunya “Da Asia” sebagaimana terbeber dalam situs resmi Pemerintah Kabupaten Jepara.
Sebutan Retna Kencana, nama Ratu Kalinyamat yang juga masyhur di masyarakat Portugis tersebut seakan mewakili nama besar Jepara kala itu, konon pada abad XVI bernama Ujung Muara, kemudian berubah menjadi Jungmara dan akhirnya menjadi Japara atau Jepara.
70 tahun sebelumnya, tepatnya pada 1470, nama besar Jepara sudah mafhum. Yaitu kala pemerintahan Jepara kali pertama di bawah kekuasaan Arya Timur, seorang pedagang asal Kalimantan Barat yang pindah ke Maluku dan akhirnya menetap di Jepara.
Bandar besar di Jepara yang strategis untuk lalu lintas perdagangan Nusantara menjadi pertanda di masa ini. Setelah kemudian pada 1507-1512, pemerintahannya estafet kepada Pati Unus. Paling tidak, itu yang dikemukakan Tome Pires dalam “Suma Oriental”.
Pada rentang 34 tahun berikutnya, terjadi kemelut di Kesultanan Demak, dengan tewasnya Sultan Trenggana dalam sebuah ekspedisi militer di Panarukan (1546).
Pascaperistiwa itu, terjadi perebutan kekuasaan di Demak. Sunan Prawoto sebagai penerus Sultan Trenggana dibunuh Arya Penangsang yang ingin merebut tahta Demak. Salah seorang menantu Sultan Trenggana, yaitu Sultan Hadlirin (suami Ratu Kalinyamat) juga tewas olehnya.
Inilah yang membuat Ratu Kalinyamat bertapa di Danareja, daerah Keling Jepara. Alhasil, pada 1549 Arya Penangsang tewas oleh Danang Sutawijaya -putra angkat Pangeran Hadiwijaya (menantu Sultan Trenggana lainnya)- yang kemudian menjadi cikal bakal Kerajaan Mataram Islam.
Jepara Tempo Dulu:
Jl. Ki Mangun sarkoro
Pecinan Jepara
Polres Jepara
Lembaga Pemasyarakatan Jepara
Tugu pancasila (Alun-Alun)
Tugu Pengkol Jepara
Tugu PKK Jepara
Sementara tahun itu, Ratu Kalinyamat dinobatkan sebagai penguasa Jepara dengan candra sengkala “Trus Karya Tataning Bumi”, bertepatan 10 April 1549 yang sampai sekarang tanggal tersebut diperingati sebagai Hari Jadi Jepara.
Hari Jadi Jepara diperingati kali pertama 10 April 1989. Upacara tahunan itu dilakukan setelah Pemda Jepara memiliki Peraturan Daerah (Perda) Nomor 9 Tahun 1988, tentang Penetapan Hari Jadi Jepara.
“Pembela masyarakat kecil, setia, berani, dan adil. Itu yang bisa ditangkap dari figur Ratu Kalinyamat,” kata Hendro Martojo, Bupati Ke-47 Jepara yang memulai tugasnya bersama Wakil Bupati H Ali Irfan Mukhtar, sejak 6 Februari 2002.
Bagi siapa pun, khususnya aparat di Jepara, momen Hari Jadi Ke-456 ini bisa diilhami lebih dari sekadar seremoni sesaat. Lanskap perjuangan masa lalu yang terwujud dalam nilai-nilai patut dikedepankan di masa sekarang.
Hal ini, lanjut dia, untuk mencapai sebuah tatanan hubungan masyarakat dengan pemerintah menjadi harmonis dan saling menguntungkan. Sesuai dengan visi Kabupaten Jepara, yaitu terwujudnya masyarakat maju, sejahtera, damai, demokratis, dan mandiri, dengan pelaku-pelaku sejarah baru yang berkualitas, religius, dan berakhlak mulia.
Hal paling aktual untuk memaknai “Trus Karya Tataning Bumi” di masa sekarang adalah dengan terus melakukan kerja keras, tanpa kenal lelah dengan semangat positif dan budaya kerja yang tepat guna.
Keberanian, sebagai satu sikap yang ada pada diri Ratu Kalinyamat, tak hanya bisa diartikan “kaku” sebagai keberanian dalam peperangan mengangkat senjata untuk mengusir penjajah semata.
Jiwa entrepreneurship yang sudah terpatri lama bagi masyarakat Jepara, juga lekat dengan keberanian. “Tukang tatah yang sedang berkreasi membuat motif ukir akan lebih hidup dan inovatif dengan keputusan-keputusan berani saat berkarya,” kata Hendro memisalkan keberanian para perajin kayu, pelaku ekonomi yang menjadi salah satu ikon sebagian besar masyarakat Jepara.
Wong Cilik
Keberanian itu juga layak ada pada segmen masyarakat nelayan dan petani, dua basis masyarakat lain di Jepara. Terlebih aparat pemerintah yang saat ini masih dalam proses menuju karakter abdi negara yang bisa mengayomi, melayani, dan membela kebutuhan masyarakat. Berani mengambil kebijakan strategis yang berpihak ke wong cilik merupakan pekerjaan mulia.
“Bagaimanapun masih ada keluhan-keluhan masyarakat yang tetap harus diperhatikan pemerintah. Mendengarkan dan melayani masyarakat juga bagian dari pengejawantahan kebijakan. Untuk mengalah dan rendah hati dalam memberikan pelayanan juga bagian dari keberanian,” tambahnya.
Ibarat gadis belia yang sedang berulang tahun, Hari Jadi Jepara patut menjadi ajang introspeksi, apa yang telah diperbuat di masa lampau untuk menentukan langkah ke depan, menuju jati diri yang lebih dewasa dan matang.
Bukan tidak mungkin nilai-nilai “warisan” leluhur sirna, jika tidak dimulai dari semangat-semangat kecil yang kadang terlupakan.
Terimaksih sudah membaca blog saya semoga berguna bagi anda semua nya.
Comments :
0 komentar to “Jepara Tempo Dulu”
Posting Komentar